Senin, 05 Maret 2012

KEKOSONGAN JIWA

Kesepian bukan karena tiadanya orang disekitar, namun karena tiadanya cinta seseorang dihati. Aku dapat kehilangan saat-saat yang berharga dan bahagia. Yaitu ketika aku suatu saat merasa enggan untuk berbagi dan memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan. Disaat mengulurkan tangan atau pertolongan, tanpa sadar aku menjalin hatiku dan orang lain dengan dawai emas yang tidak tampak. Dawai itu bernama Cinta dan persaudaraan. Semakin banyak diriku menjalin dawai semakin jauh hatiku dari kesepian. Karena dawai-dawai itu akan mendentingkan nada-nada cinta indah yang memenuhi dan menghibur jiwa. Segaris senyum dan tatapan mata yang bersahabat cukup untuk membangunkan bahwa diriku sama sekali tidak sendiri.

 Malang, 8 Januari 2010
Qusyairi El Madury

PEMBERHENTIAN

Akal melayangdayang memenuhi hasrat keinginan
remuk badan ditelan silam rengkuh bala tentara khayalan

alunan kelam bersimbah kebencian
hasrat tinggalkan harapan

usaha upaya berwarna rupa
derai hikmah hidup nyata

qadha tidak terdahului
takdir terpatri titah Ilahi


Malang, 4 Januari 2010
Qusyairi El Madury

Salah satu alternatif buat yang terkena insomnia

Apa yang mesti dilakukan oleh orang yang terserang insomnia?

Insomnia adalah penyakit sulit tidur di malam hari, sehingga membuat seseorang hanya bolak balik di atas ranjang. Untuk mengatasi, si penderita hendaknya melakukan hal-hal berikut:

1. Membaca dzikir-dzikir yang sesuai dengan syariah.
"Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang". (Qs. Ar-Ra'd:28)

2. Tidak tidur di siang hari kecuali terpaksa.
"Dan, Kami jadikan siang untuk mencari kehidupan".(Qs. An-Naba': 11)

3. Membaca dan menulis untuk memancing kantuk.
"Ya Rabb-ku tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Qs. Thaha: 114)

4. Membuat tubuh lelah dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
"Dan, Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha." (Al-Furqan: 47)

5. Mengurangi konsumsi makanan atau minuman stimulan, misalnya kopi dan teh.


SUMBER: Diambil dari buku LATAHZAN, Karya Dr. Aidh al Qarni. hal:190

Minggu, 04 Maret 2012

Haji & Umroh


Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup melaksanakan perjalanan ke Baitullah. Dan barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan ) dari semesta alam.” ) QS. Ali-Imran 3: 97

Nabi Muhammad SAW bersabda:
Barang siapa melakukan haji tanpa berbuat keji dan tidak fasik, maka ia kembali tidak berdosa sebagaimana waktu ia dilahirkan oleh ibunya.” (Muttafaq alaih)

Pada hakekatnya, ibadah haji dan umroh adalah ibadah yang menekankan pada pergerakan badan (Ibadah Badaniyah). Supaya bisa melaksanakan sesuai dengan tuntunan Nabi, maka penting bagi calon tamu-tamu Allah SWT untuk memahami atau mengetahui bagaimana tata cara dalam pelaksanaan ibdah haji atau umroh. Kewajiban berhaji wajib bagi orang Muslim yang telah mampu (istatha’a) sedangkan Umroh disunatkan bagi setiap muslim yang mampu. Orang yang berhaji sudah pasti melakukan umroh sedangkan orang yang berumroh belum dikatakan berhaji meski ada kemiripan dengan haji dalam tata caranya. Untuk lebih berkesan dalam berhaji atau umroh ada tempat-tempat ziarah yang patut untuk dikunjungi di Makkah dan di Madinah. Dalam buku ini selain tata cara haji dan umroh juga terdapat doa-doa manasik haji dan umroh. Sebuah buku bacaan buat referensi bagi yang mau melaksanakan haji atau umroh sebagai tamu-tamu Allah di haramain. Semoga buku saya yang ditulis bersama sahabat Agus setyobudi ini bermanfaat.

Sabtu, 03 Maret 2012

HANYA SEBUAH DOSA

oleh, Qusyairi El Madury

Di kursi depan kontrakan kubiarkan Laila menikmati kesendiriannya. Dia memandangi lalu lalang sepeda motor yang mulai ramai melintasi jalan raya di depan rumah kontrakanku. Setiap sore jalan raya depan kontrakan selalu ramai saat jam orang pulang kerja. Momen itulah yang digunakan Laila untuk menemani kesendiriannya.

Pandangannya menerawang jauh. Sesekali hanya tersenyum melihat pasangan suami istri mengendarai sepeda motor. Apalagi jika pasangan suami istri tersebut membawa anak kecil, kulihat senyum Laila semakin lebar. Dengan kedua bibir merah jambu, dia terlihat sangat cantik ditambah lagi gigi putih bersih. Sebuah karya Tuhan yang begitu indah dititipkan pada Laila.

”Ah, ingin rasanya seperti mereka, menyempurnakan separuh agama. Dunia yang tehindar dari dosa dan hanya sarat dengan pahala. Semua yang dilakukan bermakna ibadah” Laila berujar dengan tetap mengarahkan pandangannnya pada sebuah keluarga yang sedang lewat di depannya.

Acap kali ku dengar ikhwal itu dari Laila. Minggu lalu ketika kami berdua pergi liburan, Laila pun bergumam hal yang tidak jauh beda. Tersirat suatu keseriusan dalam gumamnya. Obrolannya selalu mengarah pada ikhwal membina rumah tangga.

Es teh dimeja sebelahnya Laila yang dipesan dari warung dekat kontrakanku tadi masih utuh. Demikian pun dengan pisang gorengnya. Sepertinya hatinya masih belum ada niat untuk menyentuhnya. Laila masih tetap tidak mengubah pandangannnya pada lalu lalang sepeda motor yang semakin banyak.

”dosa berbalut kemesraan” kata Laila ketika melihat pemuda dan pemudi yang sedang asik berboncengan di atas sepeda sambil ketawa dan bercanda ria.

Kepalaku terasa seperti tasbih yang sedang berputar-putar ditangan orang yang khususk berdzikir dikeheningan malam. Tidak lekas hengkang kebingungang yang ada dalam diriku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan terhadap perubahan sikap Laila akhir-akhir ini. Jarang sekali dia bercerita kalau ada masalah. Dia lebih suka memendam masalahnya sendiri dari pada berbagi kepada diriku. Sikapnya semakin tidak kupahami setelah kami sama-sama selesai ujian skripsi. Semenjak kami dekat, tidak pernah kudapati wajah Laila seserius ini.

Kemarin lusa, Fildza bilang kepadaku bahwa hampir semalaman Laila menangis.

”Sepertinya Laila lagi ada masalah, Mal. Kenapa tidak kau coba ajak bicara dia, mungkin dengan kamu dia akan bercerita” kata Fildza kemaren di kampus saat kami mengurus kelengkapan administrasi sebagai syarat untuk bisa ikut wisuda.

“Aku tidak tega membiarkan sahabat baikku sedih terus Mal, kelihatannya saja dia tegar namun kenyataanya dia sangat rapuh. Dia tidak mau terlihat rapuh di depan sahabat-sahabatnya terlebih lagi di depan kamu Mal, orang yang dicintainya. Coba kau tanyakan ada masalah apa?” kata Fildza memberi usul.

“Aku harus bagaimana?” kataku.

Fildza hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban dari pertanyaanku.

Rencanaku sudah dari kemarin untuk menanyakan kepada Laila apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan. Kutimbang-timbang dan mencari waktu yang tepat untuk menanyakannya sebab sikapnya yang tidak biasa itu dan sepertinya sekarang waktu yang tepat itu.

Jalanan di depan rumah kontrakanku, kini mulai lengang. Mobil dan motor tidak lagi ramai lewat, hanya ada beberapa pejalan kaki hendak kemasjid. Sepertinya sudah adzan maghrib. Seratus meter dari rumah kontrakan terdapat sebuah Masjid. Jama’ahnya hanya banyak waktu maughrib saja. Pada waktu bulan Ramadhan juga tidak jauh beda, awalnya penuh tetapi semakin mendekati hari raya Idul Fitri jama’ahnya semakin maju dalam ruangan masjid.

Berkali-kali Laila menarik napas panjang. Memejamkan matanya beberapa saat kemudian membukanya lagi dan kembali keaktifitas sebelumnya, melepaskan pandangannya menerawang jauh. Sedikit-sedikit teh yang dari tadi didiamkan mulai diminum, lalu mengambil kue pisang. Ia makan lambat-lambat. Tangan kirinya masih tetap memegang gelas yang berisi teh. Sesekali Laila menatapku yang masih berada di depan Telivisi. Aku berpura-pura sedang menonton berita.

Biasanya ia sangat suka menonton berita sore. Pekerjaannya sebagai penyiar radio menuntutnya harus tahu banyak informasi. Hari-hari sebelumnya, menonton berita sore menjadi kebiasaan kami berdua. Jika tidak melakukan ikhwal itu, Laila biasanya melakukan hal yang menurut dia menarik seperti membaca majalah atau novel-novel koleksiku. Ia mempunyai selera bacaan yang bagus, tidak heran jika ia kaya dengan informasi. Suatu kali pernah kutanya kenapa ia suka baca. Ia hanya menjawab knowlagde is power. Setelah seharian beraktifitas dengan kegiatan masing-masing, maka waktu sorelah momen kami untuk bersua.

Namun, sekarang ia tak memberikan reaksi apa pun. Bersama kebisuan ia habiskan kue pisang yang dipegangnya, kemudian mengelap tangannya dengan tissue. Lalu seperti semula, ia mengarahkan sepasang matanya kembali kedalam keheningan menerawang jauh kedepan.

Suasana di kontrakan tiba-tiba kurasakan sangat mencekam dan dingin, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang penuh dengan canda tawa atau diskusi-diskusi kecil seputar kehidupan kami. Aku berhitung sendiri apakah akan menanyakan pangkal persoalan Laila atau kubiarkan saja hingga ia sendiri yang bercerita kepadaku. Aku matikan benda yang menyiarkan kejadia-kejadian dibelahan dunia dengan gambar dan suara yang dari tadi ku tonton kemudian memandang Laila, batuk berkali-kali mencoba menarik perhatiannya. Namun tetap tidak ada reaksi darinya.

”Ai, kamu tidak shalat maughrib” tanyaku kepada Laila.

Laila kupanggil dengan kata ”Ai”. Dia bilang ketimbang kupanggil dengan kata cinta, baby, honey, yang (kependekan dari sayang) atau kata-kata yang lazim dipakai muda mudi untuk memanggil kekasihnya, ia lebih suka kupanggil Ai. Saat kutanya alasannya kenapa ia suka pada panggilan itu dengan ungkapan-ungkapan cerdas yang meluncur dari sela-sela mulutnya ia bilang bahwa dalam hubungan cinta tidak perlu banyak tahu dan banyak tanya. Bukan alasan yang dibutuhkan tetapi bisa mensyukuri dan menikmati cinta yang diberikan Tuhan. Itulah kata-kata Laila saat kutanya alasannya. Seni berbicara dan ketajaman otak serta pengetahuannya yang luas sering kali ia membuatku tak berkutik sama sekali.

”Minggu depan!” kata Laila menjawab pertanyaanku.

Sadar kalau diriku masih belum beranjak dan tetap mematung di depan Telivisi karena ucapannya tadi, Laila melanjutkan ucapannya.

”Perempuan itu istimewa, dapat dispensasi dari Allah dalam sebulan. Tidak perlu melakukan perintah-Nya berupa shalat saat sedang kedatangan tamu”. Ucap Laila.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Laila. Dalam seni tutur kata, aku memang tidak ada apa-apanya ketimbang dia. Aku pergi kekamar mandi untuk mengambil wuduk. Setelah berwuduk dilanjutkan dengan melaksanakan kewajibanku, shalat. Dalam curhat kepada Sang Pemilik Hidup, kupasrahkan segala apa yang terbaik buat hidupku. Setelah curhat agak lama kepada Allah, hati ini agak tenang. Entah kenapa aku teringat kepada ucapan ibu waktu kutelepon tadi malam.

”Nak, kapan kamu akan membawa calon mantu ibu” kata ibuku.

Dalam perbincangan ditelepon tadi malam, aku tidak bisa menjawab pertanyaan ibu. Dengan cepat aku alihkan perbincangan dengan bertanya keadaan family yang lainnya, beliau bilang semua family baik-baik saja. Setelah menanyakan semua keadaan family, aku pamit untuk mengakhiri perbincanganku. Sepertinya beliau mengerti bahwa diriku masih belum siap membawakan calon mantu untuknya. Masih banyak yang aku pikirkan ketimbang mencarikan ibu menantu. Adik-adikku yang masih sekolah, semuanya masih butuh biaya. Ibuku diusia yang sudah tua renta harus berjuang sendirian. Sebelum aku kuliah di Jawa, ayahku terlebih dahulu dipanggil oleh Sang Pemilik hidup. Hanya dengan beasiswa kubisa merasakan bagaimana mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Laila masih belum beranjak dari tempat duduknya. Kini aku mendekati Laila dan duduk dikursi kosong disebelahnya.

"Ai, kenapa sih akhir-akhir ini kamu kelihatan lebih murung. Kemaren Filzda cerita, ia bilang katanya kamu menangis. Ada apa sebenarnya, Ai?" tanyaku memulai pembicaraan.

Seperti ia tak memperdulikan ucapanku. Kepalanya tak sedikit pun bergeser ke arahku, dan tetap terpaku pada jalanan yang lengang. Dalam keadaan seperti itu tidak banyak hal yang bisa kulakukan untuk memecah kebisuannya. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan juga ikut dalam kebisuan. Namun setelah beberapa menit, aku coba lagi memecah keheningan dengan mengajaknya mengobrol, kali ini dengan sedikit nada bercanda.

”Tidak baik melamun terus. Nanti bisa kesambet loh, Ai” kataku.

Kini dia bereaksi, kedua matanya yang bening memandangiku dan tersenyum. Senyumnya tak bisa kuartikan. Aku hanya membalasnya dengan senyuman juga. Untuk beberapa saat kami hanya tersenyum. Aku menanti ucapan apa yang keluar dari mulut Laila.

”Kuingin menyempurnakan separuh agamaku” katanya.

”Apa maksudmu,Ai?”. tanyaku.

Laila tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung masuk kedalam kontrakan dan duduk di depan Telivisi dikursi tempat dudukku tadi sebelum maughrib. Aku mengikutinya dari belakang, kemudian kami duduk berhadap-hadapan. Setelah beberapa saat Laila menjawab pertanyaanku.

”Kamu sangat tahu apa yang kumaksud, kak” kata Laila.

Aku memandanginya. Ia menundukkan kepala, kulihat ada butiran bening yang jatuh dari kelopak matanya. Dadaku berdesir. Aku sadar selama ini Laila memedam masalah yang sangat berat.

”Tapi apa harus secepat itu, Ai?”

Laila membenarkan duduknya. Aku lihat ia beberapa kali menarik nafas, mungkin mengatur emosinya.

”Kak, aku tidak ingin terus-terusan seperti ini. Aku tidak ingin menambah dosa lagi” Jawab Laila.

Kini aku yang diam seribu bahasa, tidak tahu harus bagaimana membalas ucapan Laila. Hanya semilirnya angin malam yang berdesir-desir menyapa kulitku.

”Dengan keadaanku sekarang ini apa memungkinkan, Ai?” ucapku lagi.

”Apa kakak tidak yakin dengan Kebesaran Allah, Sang Pengatur hidup?” balas Laila.

”Maksudku bukan begitu, Ai. Segala sesuatu kan harus diperhitungkan terlebih dahulu” kataku.

”Tuhan telah menentukan takdir masing-masing hambanya. Manusia hanya bisa berdoa dan berikhtiar. Terlepas dari itu, manusia tidak punya kuasa” kata Laila.

Ungkapan-ungkapan yang meluncur dari mulut Laila membuatku kembali kedalam diam, tidak ada suara. Setelah beberapa saat, Laila meneruskan ucapannya.

”Selama ini, kurasa semua telah kudapati darimu. Cinta, perhatian dan kasih sayang. Menjalani hidup bersamamu dalam suka dan duka telah mengisi hari-hariku dengan kegembiraan di kota pendidikan ini. Kehadiranmu dalam hidupku anugrah terbesar yang diberikan Tuhan. Namun ketika kusebut nama Tuhan, pikiranku langsung teringat terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini tidak lebih hanya sebuah dosa. Cintamu, perhatianmu serta kasih sayangmu semuanya adalah dosa yang tidak terasa kita lakukan”

Diriku masih tetap diam. Hanya sesekali aku menatap wajah Laila, wajah seriusannya masih tetap ada pada wajah Laila.

”Selama kita masih belum terikat oleh ikatan suci pernikahan maka semua yang kita lakukan adalah dosa, kak. Tetapi jika ikatan suci itu telah kita laksanakan, maka semua apa yang kita lakukan berubah menjadi ibadah dihadapan-Nya” imbuh Laila.

”Lalu sebaiknya aku harus bagaimana?” tanyaku.

"Kakak sudah memiliki jawabannya. Ku tidak perlu mengatakan kakak harus bagaimana. Apa yang ada dalam pikiranmu itulah yang kuinginkan," katanya seperti bisa membaca pikiranku. Kepekaannnya selalu punya cara untuk membuatku tidak berdaya.

“Aku masih punya tanggungan untuk membiayai sekolah adik-adikku, apakah aku sanggup sekaligus menafkahi kamu, Ai?” kataku.

“Apa kakak meragukan kebesaran dan kepemurahan-Nya?” Tanya Laila.

“Tidak Ai” Jawabku.

“Terus apalagi kak?”

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kali ini aku pandangi Laila lekat-lekat sambil kupegang tangannya. Ia hanya tersenyum. Kemudian berucap.

“Sesudah menikah rizki itu berkah kak, karena rezkinya orang dua dipersatukan”.

Entah karena apa setelah mendengar ucapan Laila, diriku ada keberanian untuk mengambil keputusan besar untuk hidupku, menikah. Kulihat jam didinding sudah menunjukkan jam sembilan malam. Sudah saatnya mengantarkan Laila ketempat kontrakannya. Saat beranjak untuk mengeluarkan besi kudaku buatan 80-an itu, aku mendengar bunyi motor berhenti di depan kontrakanku dan beberapa saat kemudian terdengar ucapan salam.

“Assalamualikum” kata Fildza.

“Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarkatuh” Kami berdua serempak menjawab salamnya Fildza.

“Mari Laila, udah malam.” Kata Fildza.
“Tadi ketika kakak shalat maughrib aku yang menyuruh Fildza untuk menjemputku” kata Laila memberi tahu tanpa kutanyakan.

Saat Laila mau meninggalkan kontrakanku, ia berpesan kepadaku.

“Sebelum kakak memberi kepastian, untuk sementara jangan menemuiku. Harapanku kakak menjadi imam dalam bahtera rumah tangga dan menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Apapun keputusan yang kakak ambil akan kuterima”.

Mereka berdua mengucapkan salam dan meninggalakanku mematung sendirian di depan pintu kontrakan. Pikiranku melayang kemana-mana. Dalam benakku muncul ucapan Ibu yang menanyakan calon menantu, mucul adik-adikku yang masih butuh biaya untuk pendidikannya serta ucapan Laila yang mengharapkanku menjadi imam dalam hidupnya.

Dalam sujud malamku, kupinta pada Sang Pengatur Hidup untuk kebaikan jalan hidupku. Kuadukan segala problema hidupku, curhatku begitu dalam kepada-Nya hingga butiran-butiran bening dari mataku menetes kesajadah kumuhku. Kubaca kalam-kalam-Nya hingga kuterlelap dalam curhatku kepada-Nya.


Malang, 10 Ramadhan 1431 H